“Dua Anak Lebih Baik” . Slogan ini sekarang sangat populer. Masyarakat diajak untuk berpikir realistis,
bahwa anak banyak akan membawa konsekuensi mahalnya biaya hidup yang harus
ditanggung orang tua, apalagi biaya pendidikan dan kesehatan yang sangat
tinggi.
Kekhawatiran tidak mampu menghidupi anak
menjadi alasan utama pasangan yang memutuskan mengikuti program KB. Bahkan tidak sedikit juga ibu-ibu yang
melakukan aborsi bila hamil anak ketiga atau lebih. Studi yang dilakukan oleh Population Council, 98,8 % perempuan yang
melakukan aborsi di sebuah klinik swasta di Jakarta, telah menikah dan
rata-rata sudah memiliki anak (Herdayati, 1998). Alasan yang
umum adalah karena sudah tidak ingin memiliki anak lagi, seperti hasil survey
yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS), 75 % wanita usia reproduksi
berstatus kawin tidak menginginkan tambahan anak (BPS, Dep.Kes 1988). Kekhawatiran mereka akan sesuatu yang belum
pasti terjadi telah membuat mereka melakukan hal yang haram.
Fenomena seperti ini dari sudut pandang aqidah
Islam sangat memprihatinkan. Lepas dari kebolehan melakukan KB selama tidak
secara permanen karena memutus peluang
untuk memiliki keturunan. Bahwa keyakinan terhadap rizki dari Allah
haruslah kokoh menghunjam dalam dada seorang muslim.
Pemikiran Materialisme Menyimpangkan Pemahaman
Rizki
Paham materialis saat ini begitu gencar
menggempur masyarakat. Paham yang
menjadikan tolok ukur kebahagiaan adalah banyaknya materi yang dimiliki oleh
seseorang. Maka seseorang dikatakan
bahagia bila bisa makan apa saja yang ia inginkan, mengenakan baju yang indah,
memiliki rumah mewah, bisa berjalan-jalan ke berbagai tempat wisata, bisa
menyekolahkan anak di sekolah favorit, dan seterusnya.
Begitu pun ukuran kesuksesan. Seseorang dikatakan sukses bila punya
jabatan, gaji besar, dan memiliki simbol-simbol kemewahan seperti rumah dan
mobil. Orang tua yang berhasil pun
diukur dengan keberhasilan anaknya menduduki jabatan tinggi atau bergaji besar.
Pemikiran ini dijejalkan dalam benak umat
melalui tayangan film, program TV, Koran, majalah, sampai ke komik dan
buku-buku cerita. Malah pemikiran ini
diajarkan juga secara resmi dalam kurikulum sekolah. Tengoklah bagaimana ilmu ekonomi mengajarkan
kita bahwa time is money, prinsip ekonomi yaitu modal yang
sekecil-kecilnya harus mendatangkan untung yang sebesar-besarnya, dan
sebagainya.
Maka wajar bila kemudian banyak orangtua
berambisi menyekolahkan anak setinggi-tingginya agar mudah mendapat pekerjaan,
bukan karena menjalankan kewajiban menuntut ilmu yang diperintahkan oleh
agama. Wajar bila anak-anak bercita-cita
menjadi pemain bola dunia, artis, model dan profesi sejenis yang bisa
mendatangkan gelimang uang. Hampir tidak
ada yang punya cita-cita menjadi ulama, karena ulama identik dengan
kebersahajaan.
Sebaliknya bila tidak bisa memenuhi keinginan
akan harta, seperti tidak bisa membawa anak ke restoran terkenal, tidak bisa
mengajak anak ke Dunia Fantasi di Ancol, atau menyekolahkan anak di sekolah
favorit, orangtua merasa sangat menderita dan gagal membahagiakan anak. Konsekuensinya, orangtua memilih untuk
memiliki sedikit anak saja.
Pemahaman tentang standar bahagia dan
keberhasilan dalam paham materialis ini bertentangan secara diametral dengan
pemahaman Islam. Memang betul, bahwa
umat Islam diperintahkan juga untuk mencari bagiannya di dunia, namun dunia
bukanlah tujuan akhir dari kehidupan kita.
Dunia hanya sarana bagi kita untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki dan
kekal di akherat.
Dengan demikian maka standar kebahagiaan dalam
pandangan Islam adalah mendapatkan ridha Allah.
Seorang muslim akan berbahagia saat memiliki harta ia menafkahkannya di
jalan Allah seperti bersedekah dan berinfak, karena ia yakin Allah akan ridha
dan memberinya pahala. Seorang muslim
akan berbahagia saat berlaku jujur dalam mencari rizki, sekalipun hasilnya
tidak sebesar bila ia korupsi atau mencuri, karena ia yakin Allah ridha dan
memberinya pahala. Seorang muslim akan
berbahagia saat ia diuji, misalnya dengan kekurangan, karena ia yakin bila ia
sabar maka Allah akan ridha dan memberinya pahala.
Dalam kaitannya dengan anak, seorang muslim
akan berbahagia bila anaknya menjadi anak sholeh, pejuang agama, orang yang
berakhlak mulia, karena dengan demikian ia berhasil mengantarkan anak pada
ridha tuhannya. Sebaliknya ia bersedih
bila anaknya curang dalam ujian sekalipun kemudian nilainya tinggi dan mampu
masuk sekolah favorit. Seorang muslim
akan bersedih bila anaknya menjadi pejabat tetapi berlaku curang, sekalipun
dengan demikian ia menjadi orang yang kaya.
Hal ini karena ia merasa gagal mengantarkan anaknya menggapai ridha
tuhannya dan mendapatkan dosa.
Setiap Anak Membawa Rizkinya Sendiri
Dari Abu Abdirrahman,
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, dia berkata: ”Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu
benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu
dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam
bentuk nuthfah(air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu
itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh(segumpal daging) selama
waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu
meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis
rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya...”(HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan hadist di
atas, setiap orang sudah ditentukan rizkinya saat masih berada di dalam
kandungan. Artinya, pada saat lahir,
seorang anak telah membawa rizkinya sendiri.
Selama ini di masyarakat
terdapat pemahaman tentang rizki yang tidak tepat. Rizki dianggap sebagai hasil usaha manusia
sehingga berkorelasi positif dengan pangkat, jabatan, dan jenis
pekerjaannya. Seorang pegawai misalnya,
tidak berani memiliki anak banyak karena ia berpikir gajinya tidak akan cukup
untuk menghidupi mereka secara layak.
Begitu pula pedagang, ia khawatir satu saat perdagangannya mundur dan ia
tidak lagi bisa menafkahi anak yang banyak.
Padahal berdasarkan
realitas yang bisa kita indera, rizki tidak selalu berkorelasi dengan
usaha. Sama-sama pedagang, sama-sama
bekerja keras, hasilnya bisa berbeda.
Atau pegawai yang sudah memiliki gaji tertentu. Dia berpikir bahwa pekerjaannya itulah yang
mendatangkan rizki. Namun bisa saja
suatu saat gajinya dicuri orang, atau tiba-tiba ada keluarga yang sakit
sehingga gajinya habis.
Kadang, rizki datang
tanpa usaha, tanpa diduga. Prita
Mulyasari tatkala dituntut membayar RS Omni ratusan juta, mungkin tak akan
menyangka akan mendapat uang yang lebih besar dari itu dengan mudah, hasil
simpati masyarakat terhadap kasusnya.
Rizki adalah suatu
ketentuan yang datang dari Allah.
Bekerja hanya salah satu sarana untuk mendapatkannya. Allah SWT berfirman dalam Surat Hud :
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak
ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya.” (TQS. Hud : 6).
Ini adalah jaminan dari
Allah bahwa Dia akan memberikan rizki pada setiap makhluknya. Dan sungguh Allah akan memberikan rizki
sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya pintu-pintu rizki itu
menghadap kearah Arsy, lalu Allah SWT menurunkan rizki-rizki itu kepada manusia
sesuai dengan perhitungan nafkah mereka.
Barangsiapa yang banyak nafkahnya, diperbanyak pula rizkinya, dan
barangsiapa yang sedikit nafkahnya maka disedikitkan pula rizkinya.” (HR ad-Daruquthni
melalui Anas ra).
Allah menjamin rizki
setiap orang sepanjang hidupnya. Bila
rizki seorang hamba sudah habis, barulah Allah akan mencabut nyawanya. Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya rizki itu benar-benar mencari
seorang hamba lebih banyak daripada apa yang dicari ajalnya.” (HR Thabrani melalui
Abu Darda), dalam riwayat lain dikatakan :”Allah SWT tidak sekali-kali mencabut nyawa
seseorang sebelum Dia memenuhi semua rizki yang telah ditetapkan untuknya.”
Hadist ini menjelaskan
bahwa rizki yang sudah ditetapkan Allah pasti akan datang. Maka pada hakekatnya, manusia hanya
menyongsong rizkinya. Jalan rizki itu
sendiri bermacam-macam : bekerja, pemberian orang, menemukan harta, mendapat
warisan, hutang, dsb. Sekalipun demikian Allah memerintahkan agar
manusia tidak menggantungkan diri kepada orang lain dalam mencari rizki. Allah memerintahkan manusia untuk bekerja,
dan menjanjikan pahala bagi mereka sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw
dari Ibnu Abbas ra :
“Barangsiapa bersore hari dalam keadaan
lelah karena bekerja, niscaya ia akan memasuki sore harinya itu dalam keadaan
diampuni.”
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu
hidup untuk selamanya, dan beramallah untuk akheratmu seakan-akan kamu akan
mati esok hari.” (HR Ibnu Asakir)
Adanya jaminan rizki
dari Allah tidak berarti bahwa rizki seseorang akan selalu lapang. Allah kadang menyempitkan rizki sebagai
cobaan bagi seseorang.
وَأَمَّا إِذَا مَا
ابْتَلاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
"Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".(QS Al Fajr : 16).
Sempitnya rizki bagi
seorang muslim adalah ujian dari Allah yang perlu disikapi dengan
kesabaran.
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ
وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“.Apa
yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan
sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl :96)
Dengan demikian, bagi seorang
muslim, sempitnya rizki karena banyak anak bukan suatu hal yang dianggap
sebagai penderitaan, melainkan suatu ladang amal untuk memperbanyak
pahala. Apalagi memiliki anak banyak
adalah sesuatu yang disukai oleh Rasulullah saw. Beliau saw bersabda :
“Nikahilah
perempuan yang pecinta (yakni yang mencintai suaminya) dan yang dapat mempunyai
anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab (banyaknya)
kamu di hadapan umat-umat (yang terdahulu)” [Shahih Riwayat Abu Dawud,
Nasa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari jalan Ma’qil bin Yasar]
“Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]
Pemahaman akan rizki yang
benar akan menghilangkan rasa khawatir memiliki anak yang banyak. Insya Allah,
masing-masing anak akan membawa rizki, kadang dari jalan yang tidak kita
duga. Tinggal keyakinan kita kepada
ketetapan rizki dari Allah yang harus kuat tertanam dalam dada. Allah
berfirman :
وَلا تَقْتُلُوا
أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ
قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al Israa’ : 31).
Jadi, punya anak banyak, siapa
takut,